Sidoarjo – Sejarah panjang berdirinya pabrik gula yang ada di Kabupaten Sidoarjo menjadi cerita bagi masyarakat. Selain tercatat sebagai sisa-sisa peradaban, ternyata Pabrik Gula menyimpan banyak hal menarik didalamnya termasuk menjamurnya tempat prostitusi.
Pabrik gula di Kabupaten Sidoarjo pertama kali didirikan sekitar tahun 1.832. Pabrik gula tersebut bernama PG Candi yang hingga kini masih aktif dan eksis bergerak dibidang agroindustri tebu.
Menurut salah satu pemerhati sejarah di Sidoarjo bernama Sudi Harjanto. Dalam perkembangan industri gula yang gencar kala itu, membuat Belanda secara berkala membangun pabrik-pabrik gula diseluruh penjuru kota delta.
“Ada sekitar 15 titik pabrik gula yang tersebar hampir disetiap Kecamatan yang ada di Sidoarjo kala itu diantaranya adalah di Tulangan, Krembung, Prambon, Porong, Candi, Sidoarjo Kota, Buduran, Krian, Taman, Waru, Gedangan, Tanggulangin, Wonoayu, Krian, dan Balongbendo,” ujar pria yang akrab disapa Sudi tersebut.
Industrialisasi pabrik gula di Sidoarjo berkembang sangat pesat dijamannya. Belanda saat itu sukses menggandeng para penguasa lokal setingkat Kecamatan hingga Kabupaten di Sidoarjo untuk membuat produksi dan pengiriman gula hingga ke mancanegara yang dikirim melalui kereta bertujuan Pelabuhan yang ada di Kota Surabaya.
Fakta sejarah mengatakan bahwa berkembangnya pabrik gula sebagai raja industry di Sidoarjo saat itu juga dibarengi dengan menjamurnya tempat-tempat prostitusi kelas bawah hingga menengah dikawasan pabrik.
“Mangkanya itu, istilah ‘Ada Gula, Ada Selimut’ lebih untuk menggambarkan kondisi saat itu. Menjamurnya dunia pelacuran saat itu juga berkembang. Perpelacuran untuk kelas menengah saat itu bernama Sociates. Disana rata-rata pasarnya para pekerja dari Belanda. Nah untuk pekerja kelas bawah, rata-rata ada disamping-samping sekitarnya. Semua PSK-nya juga dari lokal,” paparnya.
Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno itu juga menegaskan bahwa setiap ada pabrik gula disuatu daerah, maka disitu juga ada tempat prostitusi baik untuk kalangan menengah hingga kelas bawah.
“Setiap pabrik gula yang berdiri, maka dipastikan ada praktek prostitusi disekitarnya. Artinya dulu di Sidoarjo itu ada 15 titik tempat prostitusi atau yang sekarang dikenal dengan lokalisasi,” imbuh pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah itu.
Sudi menjelaskan bahwa hubungan antara industri pabrik gula dan berdirinya tempat prostitusi tidak bisa dilepaskan. Beberapa data mengungkap bahwa para pekerja dari Belanda saat itu banyak yang tertarik kepada para pekerja seks komersial lokal karena mereka selama diberangkatkan di Indonesia tidak boleh membawa istri dan keluarganya.
Semakin berkembangnya waktu, titik-titik prostitusi yang semula dekat dengan kawasan pabrik gula, kini mulai hilang seiring dengan bangkrut dan tidak beroperasinya pabrik gula sebagai penyangga industri. Sudi mengatakan bahwa buyarnya tempat prostitusi di Sidoarjo saat itu salah satunya adalah adanya faktor Pondok Pesantren yang juga mulai berdiri.
“Jadi eranya itu ‘Ada gula, ada selimut baru ada Pesantren’. Pesantren menjadi salah satu yang menekan prostitusi di setiap kawasan pabrik gula. Selain itu, gerakan perlawanan para pekerja, santri dan masyarakat kelas bawah pada Belanda juga menjadi satu faktor bangkrut dan meredupnya dominasi Belanda sebagai penjajah kala itu,” terangnya.
Menurut Sudi, hingga saat ini satu-satunya pabrik gula yang masih aktif dan eksis ada di Candi. Namun untuk tempat prostitusi yang juga masih berjalan hanya terdapat di tiga titik.
“Setelah pabrik gula banyak yang tidak aktif, prostitusi di Sidoarjo menurut saya masih menyisakan 3 titik saat ini di Sidoarjo. Titik prostitusi tersebut juga telah ada sejak dulu ketika pabrik gula masih aktif,” pungkasnya.