SIDOARJO – Peneliti Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengadakan Fokus Grup Disscussion (FGD) dengan tema “Komodifikasi Agama dalam Kontstruksi Partai Politik Islam Terhadap Pemodelan Politik Identitas” di Gedung DRPM Kampus 1 Umsida, Candi, Sidoarjo (07/08/24).
Kegiatan ini dihadiri oleh Komisioner KPUD Sidoarjo (Mokhamad Yasin), Ketua Bawaslu Sidoarjo (Agung Nugraha, S.H), Ketua Umum Dakesda Sidoarjo (Ribut Wijoto, S.S), dan beberapa perwakilan jurnalis dari media cetak, elektronik, dan online. Selain itu, FGD ini juga menghadirkan pakar politik muda dari Umsida (Fajar Muharram S.Sos, M.IP), dan Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sidoarjo, Abdillah Adhi.
Ketua peneliti, Dr. Didik Hariyanto, M.Si menyampaikan tujuan utama dari FGD ini adalah untuk mengetahui perspektif media, penyelenggara Pemilu, dan pakar politik terkait fenomena komodifikasi agama dalam partai politik Islam dalam mengkonstruksi identitas politik dan politik identitas, yang semakin marak terjadi dalam setiap kali penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Media mempunyai peran yang sangat penting dalam konstruksi politik identitas.
Tak hanya itu, lanjut Didik, media berperan dalam menyebarkan narasi yang berkaitan dengan identitas partai politik Islam. Narasi-narasi ini membantu mengkonstruksi pemahaman publik terhadap politik identitas tentang apa yang membedakan partai politik non Islam dengan partai politik Islam.
“Media juga dapat membentuk dan memperkuat stereotip tentang partai politik Islam. Stereotip ini bisa bersifat positif atau negatif dan bisa mempengaruhi persepsi publik serta kebijakan yang berkaitan dengan partai politik berbasis Islam,” papar Dr. Didik Hariyanto, M.Si.
Diskusi ini dipandu oleh Dr. Ferry Adhi Dharma, M.I.Kom, yang juga menjadi anggota dalam penelitian ini. Pada sesi yang pertama, Ferry memberikan kesempatan pada awak media untuk menyampaikan pandangannya. Menurut Heri Susetyo, politik identitas sendiri bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Kendati demikian, isu ini menjadi sangat populer sejak ada kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.
“Menurut para jurnalis, sampai saat ini belum ada aturan jelas terkait politik identitas ini. Masih ada ambigu pemahaman masyarakat terhadap identitas politik dan politik identitas. Selama ini yang ada hanya aturan dilarang menggunakan tempat ibadah sebagai arena kampanye dan penyalahgunaan ayat-ayat agama sebagai bagian dari strategi politik,” kata Heri.
Para jurnalis juga mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai politik identitas yang semakin menguat di era media sosial. Menurutnya, tanpa adanya batasan yang jelas, media sosial telah menjadi alat yang kuat untuk mempolarisasi masyarakat, terutama dalam konteks agama. Fenomena ini dapat memperburuk situasi, terutama di masa-masa Pemilu di mana politik identitas sering dimanfaatkan oleh elit politik untuk mendulang suara.
Media sosial punya kecepatan, dan sulit untuk bisa dikendalikan. Media sosial tidak menggunakan asas-asas kaedah dan etika jurnalistik. Sehingga banyak konten-konten hoax yang bertebaran di media sosial tanpa tahu siapa yang menyebarkan informasi hoax tersebut. Peran media dalam konstruksi politik identitas sangat signifikan, karena dapat menentukan bagaimana identitas-idenitas tersebut diakui, dipahami, dan dinegosiasikan dalam ruang publik.
Berbeda dengan media massa yang masih memegang proses etika jurnalistik dalam memperoleh informasi sampai informasi tersebut di muat oleh media semuanya menggunakan proses kaedah jurnalistik sehingga hasil pemberitaanya dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan tidak jarang media konvensional harus melakukan verifikasi bertahap untuk memastikan fakta yang akan dipublikasikan.
Sementara itu Ketua Umum Dakesda Sidoarjo, yang juga berprofesi sebagai jurnalis menuturkan bahwa media massa sangat berhati-hati dalam memproduksi berita, terutama terkait isu sensitif seperti politik identitas, dengan mengutamakan akurasi, keseimbangan, serta mematuhi kode etik jurnalistik dan pedoman media cyber, untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindari tuduhan keberpihakan.
Menanggapi hal di atas, ketua KPUD Sidoarjo Jasin mengatakan memang belum ada aturan yang secara tegas dan lugas mengatur tentang politik identitas yang ada hanya aturan penggunaan sarana ibadah dan penggunaan ayat-ayat suci agama serta tidak mengngandung SARA dalam kampanye. “Karena itu peran media sangat penting dalam mengedukasi masyarakat dalam berpolitik. Peran awak media sangat signifikan utamanya bagi media yang telah berkonvergensi menjadi media online,” ujar Yasin.
Menurut Jasin, efek Echo Chumber ini memang sulit diatasi, karena kecepatan upload penyebar ujaran kebencian berbanding dengan instensitas masyarakat berselancar di media social dan online, sehingga jurnalis pun akan kualahan menghadapi era ini.
Sementara itu, ketua Bawaslu Sidoarjo Agung Nugraha menyampaikan bahwa politik identitas adalah hal yang lumrah terjadi, bukan hanya pada pemeluk agama, karena pemilih juga kadangkala nyaman dengan pilihan yang memiliki proksimiti atau kedekatan.
“Yang bahaya adalah jika politik identitas ini disalahgunakan, itu yang harus dievaluasi dan ditertibkan. Misalnya media sosial yang dipakai oleh kontestan pemilu harus di daftarkan dan diverivikassi pemegang akunnya. Bahkan kalau bisa semua portal pemberitaan berbasis media massa harus terverivikasi sehingga masyarakat tidak sembarangan menyebarkan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya,” tegas Agung.
Selanjutnya pengamat politik muda Umsida Fajar Muharrom mengatakan, politik identitas itu terjadi di mana-mana karena identitas itu bukan hanya soal agama, tapi bisa etnis, ras, dan suku. “Sebenarnya semua itu sudah ada aturan mainnya di Undang-Undang nomor 7 tahun 2017, sekarang tinggal bagaimana penyelenggara Pemilu itu memainkan fungsinya menjalankan Undang-Undang itu. Saya sempat bercanda dengan mereka yang sampai mengkafirkan pemilih Prabowo di 2024, saya sampaikan bahwa sebenarnya doa anda semuanya pada tahun 2019 diijabah, sekarang Prabowo menang,” tambah Fajar.
Menurut Adi politik identitas itu hal yang biasa saja. Yang menjadi buruk adalah ketika politik identitas ini disampaikan dengan cara yang hasut. Hal ini sudah dilarang dalam konstruksi Undang-Undang Pemilu. Menurut Adi identitas sendiri sudah menjadi satu kesatuan dengan politik itu sendiri, sehingga ini menjadi kurang relevan dan seakan dipaksakan. Terakhir Adi menyampaikan bahwa hal baru yang ditemukan dalam penelitian ini harunsya lebih luar biasa dan perlu didorong agar dapat menjadi masukan untuk pembuat kebijakan.
Dalam penutupnya ketua peneliti Dr.Didik Hariyanto, M.Si memberikan kesimpulan Komodifikasi yang dilakukan partai politik Islam berdampak pada adanya sentimen keagamaan dalam masyarakat. Politik identitas merujuk pada praktik politik di mana individu atau kelompok memperjuangkan hak dan kepentingan mereka berdasarkan identitas mereka sendiri (partai politik Islam) dan mempunyai kecendrungan bertujuan untuk mengatasi diskriminasi atau ketidakadilan yang terjadi terhadap kelompok identitas tertentu.
Sedangkan Identitas politik berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat peran mereka dalam politik, termasuk afiliasi mereka dengan partai atau gerakan politik tertentu, tanpa harus mendiskriditkan kelompok lain yang tidak sama dengan kelompoknya dan tidak ada unsur hasut di dalamnya.
Peran media dalam konstruksi politik identitas sangat signifikan, karena dapat menentukan bagaimana identitas-idenitas tersebut diakui, dipahami, dan dinegosiasikan dalam ruang publik. Karena itu perlu adanya aturan yang jelas dalam penggunaan media saat ini terutama media sosial agar tidak terjadi miss komunikasi yang berujung kepada dis integrasi bangsa.