Oleh : Thoriqul Aslam – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sidoarjo
SIDOARJO – Momen 17 Agustus disetiap tahunnya menjadi momen yang sakral dan selalu dirayakan dengan berbagai macam pemaknaan, diseluruh penjuru negeri bertumpah ruah masyarakat mengadakan berbagai macam lomba, menghias jalan hingga pawai alat musik disepanjang jalan, hal ini semata dilakukan untuk memperingati momen dibacanya naskah proklamasi oleh presiden republik indonesia Ir Soekarno yang tepat pada tanggal 17 Agustus, 79 Tahun yang lalu.
Sejarah panjang tercipta 79 tahun lalu sebelum proklamator kita memproklamirkan kemerdekaan indonesia, termasuk kebesaran hati para pahlawan dan tokoh bangsa saat itu, menyatukan visi besar kesatuan negara dengan pelbagai macam suku, ras hingga agama, seperti yang dilakukan ketika perumusan pancasila yang demokratis pada sidang PPKI 18 Agustus, tepat 79 tahun yang lalu, yang mana merubah redaksi sila ke 1 pada nomenklatur pancasila versi BPUPKI menjadi teks pancasila yang hingga hari ini kita hafalkan yakni “ketuhanan yang maha esa”.
Perubahan tersebut dilakukan untuk menghargai para tokoh indonesia timur yang berpendapat bahwa republik ini tidak hanya dihuni orang muslim, melainkan terdiri dari pelbagai suku bangsa, kebesaran hati dan jiwa luhur para pemdiri bangsa tersebut seharusnya dijadikan patron dalam memandang keseragaman dan perbedaan.
Namun hari ini kita mendengar sebuah hal miris, Upacara di IKN yang dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk pemborosan ditengah kesulitan rakyat hingga tim pengibar bendera nasional dilarang mengenakan hijab saat momen pengukuhan dengan dalih keseragaman pakaian, lantas apakah hal tersebut benar – benar sesuai dengan nilai pancasila?
Pancasila dinilai sebagai landasan filosofis bangsa, perasan nilai luhur para pendahulu bangsa, dan kemajemukan masyarakat didalamnya, Bangsa indonesia didirikan berdasarkan konsensus bersama, permusyawaratan mufakat dengan nilai luhur berkeadaban, bangsa ini sedari awal lahir atas kemajemukan, kita mengenal Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang negara (PP No. 66 1951 Tentang Lambang Negara) disarikan dari sebuah kutipan dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada zamannya yang melihat kondisi saat itu kerajaan majapahi yakni hindu dan budha dalam pemahaman kebenaran masing – masing namun tetap beriringan, dalam harmoni pemerintahan raja Majapahit, hayam wuruk dan patih gajah mada dalam upaya menyatukan nusantara, konsep berbeda namun tetap satu merupakan konsensus dari penyatuan dua hal yang berbeda, namun tidak dengan memaksa satu sama lain untuk menganut keyakinan yang sama, perbedaan adalah sebuah marabahaya manakala tidak ada yang mempersatukan, namun sekaligus juga anugerah apabila dimaknai sebagai nilai moral kemajemukan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika, _Ex Pluribus unum_, bersatu walaupun berbeda, berjenis – jenis tetapi tunggal.
1400 tahun yang lalu Nabi Muhammad SAW dalam khutbah terakhirnya dikatakan, “Orang arab tidak lebih unggul dari non arab, orang kulit putih tidak lebih baik dari kulit hitam kecuali amal kesalehannya” hal tersebut dapat dimaknai manusia memang dilahirkan berbeda, bentuk tubuh, asal ras dan suku tidak dapat diartikan berbeda secara kasta, berperilaku dan bergerak pastilah akan menimbulkan perbedaan.
Perbedaan tersebut adalah suatu hal yang wajar, berdasar anugerah Tuhan manusia dikaruniai akal pikiran, seperti halnya peristiwa perubahan sila pertama dalam sidang PPKI 18 Agustus, meski bangsa indonesia mayoritas beragama islam seperti dikutip dari situs kemenag.go.id yang menyatakan 87,2% masyarakat indonesia adalah muslim, hal.tersebut tidak menjadikan leluhur kita memaksakan nilai syariat islam di sila pertama, alih – alih memaksakan, mereka memilih untuk mengganti kalimat tersebut menjadi “ketuhanan yang maha Esa” dan itu lebih disukai demi menghargai kesatuan bangsa.
Hemat penulis, melepas hijab atas nama keseragaman busana semata adalah pemikiran sempit yang sulit dipahami ditengah limpahan anugerah persatuan yang telah dikaruniai oleh Tuhan yang maha Esa, ratusan tahun masyarakat nusantara berhasil hidup diantara kemajemukan dengan menganut nilai luhur falsafah pancasila dengan baluran norma tiap agama yang mempersatukan, pemaknaan kesatuan tidak boleh sempit dalam arti busana, namun laku dan perilaku yang berlandaskan norma kebhinekaan yang mustinya lebih menjadi penekanan pemerintah dan tokoh bangsa saat ini
Terlebih mendahulukan prinsip keadilan seperti tertuang dalam pancasila sila ke 5, adalah suatu kewajiban negara dalam banyak faktor, diantaranya pemerataan pembangunan, pengentasan akan kesenjangan ekonomi, degradasi moral hingga membuka mata atas penderitaan rakyat yang terjadi ketimbang menormalisasi “pemborosan” atas nama kemerdekaan, hal tersebut tidaklah elok didahulukan
Marilah kita refleksikan kemerdekaan ini dengan mengingat kembali semangat nilai luhur pahlawan, sikap moril akan pemaknaan perbedaan serta keseragaman budaya yang telah dicontohkan para pendahulu bangsa kita, sembari mempersembahkan doa terbaik untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa yang didambakan oleh para leluhur bangsa.